BENARKAH batik sudah mati? Alhamdulillah, batik belum mati. Batik masih hidup dan dihidupkan oleh masyarakat dunia. Seluruh dunia mengenal batik sebagai salah satu karya cipta suatu bangsa, dan mengenakannya pada berbagai kesempatan. Batik juga dipakai tidak saja oleh presiden. Tetapi, bahwa batik sudah memasyarakat, seorang petani pun mengenakan batik ketika menjual padinya ke kota. Batik dipakai semua orang dari segala lapisan.
Konferensi Internasional Dunia Batik yang digelar di Yogyakarta dan menyusul di kota-kota lain, setidaknya menegaskan secara formal bahwa batik memang masih hidup. Dan, batik masih dibicarakan karena memiliki daya tariknya yang kuat. Sudah cukup lama orang memakai batik, sudah cukup lama pula batik dibuat orang, sampai hari ini pun kita masih bisa menemukan orang-orang yang membuat batik.
Kita patut pula bangga apabila batik juga dipelajari di berbagai negara, tak cuma di Indonesia. Pernahkah kita membayangkan bahwa di Argentina ada studi mengenai batik? Pernah pulakah kita bayangkan, orang Afrika memakai batik dalam jamuan resmi? Jika kenyataan ini terjadi, barangkali karena batik memiliki nilai. Batik mempunyai sukma yang mampu menghidupkan, tak sekadar barang mati atau barang pajangan.
Batik, di mana-mana batik, tentu menyenangkan. Jika orang datang ke Yogyakarta untuk kepentingan batik, apa artinya? Bila orang datang ke Solo, Banyumas, Pekalongan — daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah yang juga dikenal karena batiknya — karena tertarik pada batiknya, apa artinya? Itu artinya, kita sudah bicara batik dalam konteks pariwisata. Batik, bisa mendatangkan devisa. Dengan promosi dan publikasi yang menjangkau dunia, orang akan memburu batik sampai ke pelosok. Bahkan Fred van Oss dari Belanda membayangkan suatu perjalanan batik di Indonesia, tentu menarik bagi pariwisata minat khusus. Mereka bisa diajak tur ke kota-kota di Indonesia yang menghasilkan batik. Dari Tuban, misalnya ke Pekalongan, Banyumas, Lasem, Solo, Yogyakarta, dan tempat-tempat lain yang punya kaitan erat dengan batik. Adalah perjalanan yang menarik dan tekun.
***
INDONESIA, memang penuh sensasi. Banyak perajin batik tradisional yang bertahun-tahun hidup, betapa pun harga batik yang dijual kepada tengkulak tak mahal. Ibu-ibu tua itu dengan tekun menggoreskan cantingnya ke selembar kain. Ibu-ibu tua itulah yang menyulap kain putih menjadi bermotif-motif, walaupun mereka tak memperoleh banyak uang dari hasil kerjanya yang berhari-hari itu, toh mereka puas bisa menyalurkan ekspresinya.
Mereka, para pembatik itu bahkan harus menghadapi tantangan dari berbagai penjuru, hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Sebab, teknologi modern tak pernah dibayangkannya ketika canting-canting itu tetap saja dipegang di tangan kanannya. Tapi, itulah sesungguhnya kehidupan yang sesungguhnya. Dari situlah kita mengenal parang rusak, truntum, ceplok, kawung. Dan, mudah-mudahan generasi muda kita pun masih mengenal berbagai corak dan sebutan batik berikut kapan batik jenis tertentu itu dikenakan.
Tetapi, tahukah para pembatik itu betapa teknologi telah mampu meniru goresan-goresan tangan melalui canting? Sehingga, selain ada batik yang dibuat tekun yang dikenal sebagai batik tulis, ada pula batik cap yang hampir-hampir tak bisa dibedakan. Ya, batik memang sangat menjanjikan. Sampai kapan pun banyak orang bicara batik dari sisi suka dan tidak suka.
Batik pun pada akhirnya tidak hanya sekadar kain yang dibalutkan pada tubuh kita. Lukisan batik pun menjadi bagian dari perjalanan batik yang tak bisa dibendung. Ia menggantung di tembok-tembok. Dipajang di berbagai gedung dan tempat bergengsi. Batik, batik, dan batik seakan menjadi nafas kehidupan. Tak bosan-bosannya pula kita memandang batik, membicarakan batik, mengenakan batik, karena batik ternyata hidup dan berkembang. Bahkan kita pun sampai hati memanipulasi batik.
***
KALAU ada yang bisa dibanggakan pada batik, karena di berbagai daerah ada corak-corak khas. Bila kita datang ke Cirebon untuk melihat batik corak khas Cirebon, umpamanya. Cirebon pun memelihara batik sebagai salah satu kerajinan rakyat. Dalam ragam hias dan warnanya melambangkan arti-arti khusus yang mencerminkan kebijakan hidup. Misalnya batik mega mendung, wadasan, taman arum, paksi naga liman. Desa Trusmi yang terletak sekitar 7 kilometer arah barat dari kota Cirebon, merupakan sentra kerajinan batik yang cukup spesifik.
Atau, kita singgah ke Pekalongan, ke Desa Lawiyan Solo, Desa Wijen Bantul, dalam perjalanan batik yang bisa kita lakukan — disebut Fred van Oss sebagai batik road. Niscaya bisa menumbuhkan wawasan bagi wisatawan. Dan Pulau Jawa memiliki potensi itu, karena banyak daerah di Jawa yang sampai hari ini masih menghasilkan batik. Perjalanan batik ini bisa dirancang, untuk atraksi yang menarik perhatian, tak sekadar mengagumi.
Dari satu desa ke desa lain, batik yang diciptakan itu mencerminkan corak yang khas dan berbeda. Satu desa dengan desa yang lain bisa saling melengkapi. Apabila kita bisa mewujudkan kembali gagasan ini dengan lebih konseptual, mengangkat batik lebih ke permukaan dunia, batik bisa benar-benar menjadi penghasil devisa luar biasa. Batik di Indonesia, barangkali memiliki nilai lebih karena ada filosofinya, simbolnya, dan kaitannya dengan status.
Sumber : (Drs. Arwan Tuti Artha ) KR
Sun 11 Dec 2005
Batik Indonesia di Kancah Batik Dunia
Posted by Batik Indo Admin under Artikel Batik , Batik Indonesia[2] Comments
Di tengah-tengah beragamnya batik dunia, batik Indonesia memang belum kehilangan ciri khasnya. Batik Jawa Tengah yang dinilai memiliki motif paling kaya pun masih mempunyai roh. Namun, saat negara tetangga gencar mempromosikan batiknya ke berbagai benua, batik Indonesia seakan jalan di tempat.
Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja mengakui, kualitas batik Indonesia saat ini makin berkurang. Ibarat wine, esensinya makin berkurang dan terus berkurang hingga akhirnya menjadi air.
Batik yang dipakai untuk busana sehari-hari saat ini sebagian besar memang print bermotif batik. Iwan Tirta sebenarnya termasuk orang yang ”mengharamkan” batik print karena akan mengurangi filosofi batik itu sendiri, seperti pembuatan motif dengan teknik perintang warna memakai malam atau pemakaian canting.
”Batik saat ini banyak, namun makin murah dan makin murah saja. Sebenarnya batik printing juga baik asalkan dibikin yang halus, jangan asal-asalan,” papar Iwan.
Josephine Komara atau Obin mempunyai pandangan berbeda. Meskipun diakui motif batik print makin populer dan dapat membahayakan eksistensi batik tradisional, Obin mencermati bahwa batik tulis, batik cap, maupun batik print telah mempunyai pasar sendiri.
”Batik Indonesia itu unik dan sangat spesial. Jadi, saya rasa tidak perlu mengontradiksikan batik tulis, cap, atau print,” kata Obin.
Memang ada perkembangan menggembirakan dalam hal konsumsi batik saat ini. Jika dulu batik hanya dikenakan untuk acara tertentu, saat ini wilayahnya makin meluas. Batik juga kerap dimodifikasi dengan motif lain untuk busana sehari-hari.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, di Jakarta sendiri banyak orang menggunakan batik bukan hanya untuk busana, namun juga dekorasi rumah. Batik juga digunakan untuk upacara pemakaman, ulang tahun, bahkan seragam kantor.
”Semenjak Gubernur Ali Sadikin, batik khususnya batik Betawi menjadi seragam wajib untuk pegawai. Anak-anak sekolah diharuskan memakai batik sehari dalam seminggu,” ujar Fauzi.
Memosisikan batik
Batik saat ini sebenarnya makin mendunia. Setidaknya itu tergambar dalam simposium tekstil tradisional ASEAN yang diselenggarakan Himpunan Wastraprema, Senin-Selasa (5-6 Desember).
Pembicara dari Malaysia, Sulaiman Abdul Ghani, yang adalah Ketua Batik International Research and Design Access University of Technologi MARA Malaysia memaparkan, tahun 2003 adalah era kembalinya batik Malaysia. Tahun ini, Malaysia bahkan mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Padahal, seperti diakui Sulaiman, batik Malaysia yang awalnya berasal dari daerah Trenggano dan Kelantan sebenarnya sangat dipengaruhi batik Indonesia, khususnya dari Cirebon dan Pekalongan. Batik bahkan baru dikenal di Malaysia pada tahun 1920-an dan baru dijadikan industri tahun 1950-an. ”Tahun 1960-an ke atas baru ada identitas Malaysia,” ujar Sulaiman.
Lebih ironis lagi, Malaysia sebenarnya baru mengenal canting sejak tahun 1970-an dan tahun 1985 langsung terpuruk karena tidak ada inovasi dalam desain dan pewarnaan. ”Saat ini, Malaysia sudah bangkit. Kami memadukan motif tradisional dan kontemporer,” jelas Sulaiman.
Batik sekarang populer kembali di mana-mana. Ada batik Thailand, Malaysia, Vietnam, China, India, bahkan Afrika Selatan. Namun, apa sebenarnya batik, orang terkadang masih memperdebatkannya. Apakah pola ragam hias dan penggunaan canting itu penting, juga menjadi perdebatan.
Menurut Iwan, para pembuat batik sebaiknya harus kembali ke dasar. Ragam hias kuno semisal titik, ukel, dan garis itu juga harus dipertahankan. Orang yang mengerti batik sudah seharusnya bisa menceritakan bahwa di balik batik itu ada dongeng dan filosofi.
Ironisnya, orang yang paham batik jarang mempunyai kesempatan menularkan pengetahuan tentang batik. Jika ada pameran batik di luar negeri, yang datang sebagian besar adalah pedagang batik yang berbicara lebih pada harga dan nilai komersialnya.
Batik bagi Iwan adalah ikon Indonesia, seperti halnya jamu atau kerajinan kayu. Oleh karena itu, batik harus selalu dijunjung tinggi, dihormati, dan diletakkan pada aras internasional sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Batik tidak hanya sebagai art to wear, namun juga untuk dekorasi gamelan dan wayang.
”Kelemahan orang tak akan terlihat ketika dia memakai batik, terutama batik tradisional. Yang terlihat justru kekuatan. Itulah mengapa saya bisa hidup dan mengalami masa enam presiden di Indonesia. Di mana pun, kita akan menjadi lebih kaya dengan batik,” jelas Iwan.
Bagi Iwan, tidak perlu lagi mempertentangkan asal muasal batik. Khusus untuk ASEAN, bahkan Asia, sebaiknya digalang kerja sama untuk terus mempromosikan batik. Misalnya dengan membuat motif batik Jawa Tengah di atas kain sari dari Banglades atau motif cinde di atas kain tenun dari India, dan seterusnya.
Sumber : (Susi Ivvaty) Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar