Motif-motif tradisional kini mulai bergeser.

Sebutlah batik. Tanpa menunggu lama, benak kita akan dipenuhi bayangan motif bersalur-salur, berwarna tua, tampilan orang yang sedang membatik, dan busana-busana elegan untuk acara formal.

Inilah hasil kesenian, yang kendati disebut-sebut berasal dari kawasan India, justru melekat erat pada budaya Jawa. Hingga sejumlah kawasan pulau ini menghadirkan batik-batik dalam motif dan daya tarik yang berbeda.

Seiring dengan perkembangan waktu, batik pun bergeliat. Kain-kain ini tampil dengan kekiniannya. `’Batik itu berkembang mengikuti zaman. Dari corak, mutu, hingga warnanya, semua berkembang mengikuti zaman,” tutur Yultin Ginandjar Kartasasmita, Ketua Yayasan Batik Indonesia (YBI). setelah membuka Gelar Batik Nusantara (GBN) di Jakarta, belum lama ini. Perkembangan itulah yang kini muncul. Kendati masih ada yang mempertahankan nuansa tradisional, tak sedikit pula yang memilih bergerak meninggalkan itu.

H Komarudin Kudiya, MDs, pemilik batik Komarudin, mengaku tidak lagi menggunakan motif-motif tradisional. `’Walaupun saya berasal dari Cirebon, tapi saya hampir sudah meninggalkan ragam hias ornamen Cirebon. Saya ubah dalam bentuk tema-tema yang berbeda,” tuturnya.

Perubahan itu terjadi seperti pada motif kerang-kerangan dan tema keris yang tampil lewat lembar-lembar batiknya. `’Ini kan sesuatu yang beda. Sudah tidak tampak kalau sudah begini, ini motif dari mana,” lanjut Komarudin.

Batik Cirebon, kata dia, aslinya bercorak mega mendung atau wadasan yang berupa ragam hias pohon hayat dan bentuk batu karang dengan gaya khas. Budaya Cirebon tak pelak menghadirkan beragam motif tradisional. Selain wadasan dan mega mendung, ada pula kereta kencana dan singa. ”Motif singa juga bermacam-macam seperti singa payung yang kemudian dikombinasikan menjadi singa payung negaseba,” kata Komarudin.

Ternyata, motif itu pun kini mulai bergeser. Semula, warna batik tradisional terpusat pada tiga warna, yaitu krem, hitam, dan cokelat. ”Itu orisinal sekali,” katanya.

Kini, perlahan perubahan itu mulai terasa. `’Kalau sudah masuk ke mega mendung yang banyak warna, itu sudah ke arah modern,” lanjut Komarudin. Pekalongan, yang terkenal sebagai kota batik, justru tampil lebih atraktif lagi. Ada kecenderungan batik pekalongan tak hanya bergeser dalam motif, tapi pada warna. Saat produksi, warna pertama pada batik-batik itu ditimpa, dicabut warna, ditimpa lagi ke motif, kemudian ke warna lagi. `’Jadi, sistem cabut warna. Warna yang lama diangkat kemudian ditutup lilin, diwarnai lagi,” papar Komarudin.

Namun, di antara yang berubah itu, masih ada yang setia pada nilai-nilai tradisional. Batik yogya misalnya. Batik-batik dari daerah ini tampak masih konsisten pada motif-motif tradisional. Banyak yang mengakui, itu memang menjadi kekuatan batik yogya. Misalnya, motif-motif sogan, paduan warna hitam, kuning, dan putih.

Komarudin melihat batik madura masih bertahan dengan motif-motif tradisionalnya. Kalau pun ada yang berubah, lebih pada bahan baku. `’Sekarang sudah mau mencoba dengan bahan baku lain. Apalagi Madura diangkat oleh desainer dari Italia, itu cepat sekali perkembangannya. Tapi, dia belum berani mengubah motif. Yang berbeda bahan, pola-polanya tetap,” tutur Komarudin.

Batik solo terkesan malu-malu berubah. Meski motifnya tetap, ada tata letaknya yang berubah. Untuk motif, batik solo cenderung mempertahankan tradisi. Misalnya pada motif lereng. Lereng yang dipakai keluarga keraton adalah lereng yang besarnya lebih dari 10 cm. Lereng barong, yang lebih besar, itu harus dari golongan Sultan. Tapi, di bawahnya, kerabat Sultan, lebih kecil lagi.

Tidak hanya bermain pada motif dan bahan, teknik membatik pun kini berubah. Di luar negeri, kata Komarudin, perkembangannya lebih pesat lagi. ”Sudah ada yang membatik dengan teknologi laser. Ini yang terbaru,” ujar Komarudin. Namun, eksotisme batik tentu saja tidak akan pudar oleh teknologi dan cetakan motif buatan. Eksotisme itu tetap terasa kuat lewat canting, malam, lembaran kain, dan sentuhan tangan para pembatik.

Sumber : (bur) RoL