Jumat, 02 Oktober 2009

SELEMBAR kain batik mampu bicara banyak. Ia mewakili sebuah perjalanan masa, membicarakan perpaduan berbagai budaya, juga perjalanan dari sebuah kekuasaan.

Selembar kain batik juga bisa memunculkan busana trendi. Sayangnya, citra yang tertanam hingga saat ini masih berkonotasi negatif. Batik dianggap sebagai kain kuno yang hanya pantas digunakan orang-orang tua. Bahkan ada yang mengonotasikan batik dengan daster atau dalam pandangan lebih baik, kemeja lelaki berumur.

Menghapus citra yang sudah telanjur tertanam ternyata tidak mudah. Meski berbagai pameran dan peragaan busana selalu bertujuan mengenalkan batik pada kalangan muda, kenyataannya yang datang berkunjung atau menonton selalu generasi senior dan ekspatriat. Anak muda yang hadir bisa dihitung dengan jari.

Kenyataan seperti itu kembali terlihat dalam Pameran Kain Batik Koleksi Kartini Muljadi yang diselenggarakan Galeri Hadiprana, Senin pekan lalu. Hadir dalam acara yang akan berlangsung sebulan itu antara lain pengamat dan pecinta batik Asmoro Damais, Baron, Edi Sedyawati, wartawan senior Rosihan Anwar, Mien Uno, Dian M Soedardjo, serta tamu-tamu asing yang meminati koleksi kain langka Indonesia.

Generasi mudanya bisa dihitung dengan jari. Di antaranya dari kalangan desainer muda Didi Budihardjo dan Sebastian Gunawan. Ada juga beberapa perempuan muda dengan usia antara 20-30 tahunan. Mereka datang dan mencoba menjadikan batik sebagai sesuatu yang trendi.

Salah satu di antaranya mengenakan kaus putih pendek dengan celana panjang pipa jins biru warna pudar yang tengah tren. Ia menyampirkan kain batik warna cokelat kuno di bahunya. Wanita lainnya mengenakan sackdress ungu tua. Ia memitakan kain batik di atas tas Louis Vuitton. Begitu cantik dan padu. Dua perempuan ini membuktikan bahwa batik pun pantas digunakan anak muda dengan gaya trendi terkini. Sayang, jumlah yang mau peduli masih sangat sedikit.

Bandingkan dengan pagelaran busana merek terkemuka seperti Mango. Antusias generasi muda sungguh luar biasa. Mereka datang dan berani membeli mahal agar tidak dianggap ketinggalan zaman.

Seorang bintang sinetron dan iklan memberi jawaban jujur. ”Sebenarnya promosi tentang batik sudah cukup. Masalahnya, kadang kalau kita pakai kain batik suka dikatain kuno sama teman-teman. kesannya gak gaul gitu. Jadi gue enggak begitu minat dengan kain batik. Selain itu, gue pikir, kain batik memiliki citra elegan. Sepertinya kurang cocok dibuat dengan gaya yang lebih funky,” tutur Dee Dee yang kini tengah sibuk syuting sinetron dan masih menjadi bintang iklan produk Marina.

Kurang kemasan

Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pengamat mode, pengajar dan pecinta kain Sonny Muchlison saat mengomentari rendahnya minat generasi muda terhadap kain tradisional. Dalam pandangannya, banyak hal memengaruhi sikap tersebut. Di antaranya kurang pengenalan sejak dini dan buruknya kemasan pameran serta peragaan busana yang diilhami kain tradisional.

Dari waktu ke waktu jelasnya, pengenalan budaya di sekolah kian rendah. Penekanannya lebih pada menghafal. Kurikulum sekolah tidak memberi porsi cukup untuk seni dan budaya. ”Jadi, wajar saja bila anak sekarang merasa asing dengan kain tradisional Indonesia,” tuturnya.

Soal promosi kain batik, Sonny melihat sudah cukup gencar. Sayangnya, baru berdengung di kalangan tertentu alias belum menyentuh generasi muda.

Persoalan lain menyangkut kurang menariknya kemasan yang disodorkan dalam pameran maupun peragaan busana. Sering kali beberapa pameran di-display sembarangan sehingga tidak menarik minat anak muda. Publikasi yang ditempuh juga kurang mengena.

Kondisi itu menurut Sonny semakin diperparah dengan kecenderungan media cetak dan televisi yang hanya mengejar sensasional dan rating. Akibatnya, kisi-kisi pendidikan termasuk kesenian tradisional kurang diperkenalkan kepada masyarakat. Kalaupun ada yang mengupas, biasanya sekadar formalitas atau justru ditampilkan secara berat dan kuno sehingga tidak menarik minat kaum muda.

Sebagai seorang pengajar di Institut Kesenian Jakarta, dia juga prihatin saat mengajar tekstil tradisional. Sebagian besar muridnya kurang begitu tertarik apalagi mengenal. ”Yang sekarang getol mempelajari kesenian tradisional dan memburu kain-kain kuno justru orang asing. Siapa sesungguhnya pemilik kebudayaan tradisional Indonesia ini?” katanya prihatin.

Keprihatinannya kian bertambah karena saat ini batik justru banyak diaplikasi merek-merek luar negeri. Misalnya saja Project Shop Blood. Untuk kawasan Asia, merek ini berani mengaplikasikan batik dengan nuansa urban dan funky. Pada 1997, Versace pernah menggunakan batik jamprang untuk koleksi-koleksinya. Antonio Berardiu dan Pierre Cardin juga menjabarkan batik dalam gaya kardigan serta celana sleek yang unik. Terakhir Malaysia malah berani mengklaim batik sebagai budaya khas mereka.

Di Indonesia, lanjut Sonny, sebenarnya sudah ada beberapa desainer yang khusus mengolah batik. Sayang kemasannya masih terlalu berat sehingga kurang menyentuh hati generasi muda. ”Meski demikian, upaya beberapa desainer itu perlu diapresiasi. Hasil karya mereka itu kini lebih diminati orang-orang asing. Obin misalnya, 99% pelanggannya berasal dari Eropa, Jepang, dan Amerika.”

Begitulah gambaran kondisi batik di Indonesia. Perlu strategi dan kerja lebih keras lagi untuk memperkenalkan pada generasi muda. Jangan sampai kain khas ini hilang ditelan zaman atau justru dipatenkan bangsa lain.

Sumber : (Tkh/M-2) Media Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar