Jumat, 02 Oktober 2009

Kain Batik Indonesia

my INDONESIABatik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Cara pembuatan

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Jenis batik

Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.

Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.

March 8, 2009 · Posted in SINI BUDAYA

Di tengah-tengah beragamnya batik dunia, batik Indonesia memang belum kehilangan ciri khasnya. Batik Jawa Tengah yang dinilai memiliki motif paling kaya pun masih mempunyai roh. Namun, saat negara tetangga gencar mempromosikan batiknya ke berbagai benua, batik Indonesia seakan jalan di tempat.

Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja mengakui, kualitas batik Indonesia saat ini makin berkurang. Ibarat wine, esensinya makin berkurang dan terus berkurang hingga akhirnya menjadi air.

Batik yang dipakai untuk busana sehari-hari saat ini sebagian besar memang print bermotif batik. Iwan Tirta sebenarnya termasuk orang yang ”mengharamkan” batik print karena akan mengurangi filosofi batik itu sendiri, seperti pembuatan motif dengan teknik perintang warna memakai malam atau pemakaian canting.

”Batik saat ini banyak, namun makin murah dan makin murah saja. Sebenarnya batik printing juga baik asalkan dibikin yang halus, jangan asal-asalan,” papar Iwan.

Josephine Komara atau Obin mempunyai pandangan berbeda. Meskipun diakui motif batik print makin populer dan dapat membahayakan eksistensi batik tradisional, Obin mencermati bahwa batik tulis, batik cap, maupun batik print telah mempunyai pasar sendiri.

”Batik Indonesia itu unik dan sangat spesial. Jadi, saya rasa tidak perlu mengontradiksikan batik tulis, cap, atau print,” kata Obin.

Memang ada perkembangan menggembirakan dalam hal konsumsi batik saat ini. Jika dulu batik hanya dikenakan untuk acara tertentu, saat ini wilayahnya makin meluas. Batik juga kerap dimodifikasi dengan motif lain untuk busana sehari-hari.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, di Jakarta sendiri banyak orang menggunakan batik bukan hanya untuk busana, namun juga dekorasi rumah. Batik juga digunakan untuk upacara pemakaman, ulang tahun, bahkan seragam kantor.

”Semenjak Gubernur Ali Sadikin, batik khususnya batik Betawi menjadi seragam wajib untuk pegawai. Anak-anak sekolah diharuskan memakai batik sehari dalam seminggu,” ujar Fauzi.

Memosisikan batik
Batik saat ini sebenarnya makin mendunia. Setidaknya itu tergambar dalam simposium tekstil tradisional ASEAN yang diselenggarakan Himpunan Wastraprema, Senin-Selasa (5-6 Desember).

Pembicara dari Malaysia, Sulaiman Abdul Ghani, yang adalah Ketua Batik International Research and Design Access University of Technologi MARA Malaysia memaparkan, tahun 2003 adalah era kembalinya batik Malaysia. Tahun ini, Malaysia bahkan mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Padahal, seperti diakui Sulaiman, batik Malaysia yang awalnya berasal dari daerah Trenggano dan Kelantan sebenarnya sangat dipengaruhi batik Indonesia, khususnya dari Cirebon dan Pekalongan. Batik bahkan baru dikenal di Malaysia pada tahun 1920-an dan baru dijadikan industri tahun 1950-an. ”Tahun 1960-an ke atas baru ada identitas Malaysia,” ujar Sulaiman.

Lebih ironis lagi, Malaysia sebenarnya baru mengenal canting sejak tahun 1970-an dan tahun 1985 langsung terpuruk karena tidak ada inovasi dalam desain dan pewarnaan. ”Saat ini, Malaysia sudah bangkit. Kami memadukan motif tradisional dan kontemporer,” jelas Sulaiman.

Batik sekarang populer kembali di mana-mana. Ada batik Thailand, Malaysia, Vietnam, China, India, bahkan Afrika Selatan. Namun, apa sebenarnya batik, orang terkadang masih memperdebatkannya. Apakah pola ragam hias dan penggunaan canting itu penting, juga menjadi perdebatan.

Menurut Iwan, para pembuat batik sebaiknya harus kembali ke dasar. Ragam hias kuno semisal titik, ukel, dan garis itu juga harus dipertahankan. Orang yang mengerti batik sudah seharusnya bisa menceritakan bahwa di balik batik itu ada dongeng dan filosofi.

Ironisnya, orang yang paham batik jarang mempunyai kesempatan menularkan pengetahuan tentang batik. Jika ada pameran batik di luar negeri, yang datang sebagian besar adalah pedagang batik yang berbicara lebih pada harga dan nilai komersialnya.

Batik bagi Iwan adalah ikon Indonesia, seperti halnya jamu atau kerajinan kayu. Oleh karena itu, batik harus selalu dijunjung tinggi, dihormati, dan diletakkan pada aras internasional sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Batik tidak hanya sebagai art to wear, namun juga untuk dekorasi gamelan dan wayang.

”Kelemahan orang tak akan terlihat ketika dia memakai batik, terutama batik tradisional. Yang terlihat justru kekuatan. Itulah mengapa saya bisa hidup dan mengalami masa enam presiden di Indonesia. Di mana pun, kita akan menjadi lebih kaya dengan batik,” jelas Iwan.

Bagi Iwan, tidak perlu lagi mempertentangkan asal muasal batik. Khusus untuk ASEAN, bahkan Asia, sebaiknya digalang kerja sama untuk terus mempromosikan batik. Misalnya dengan membuat motif batik Jawa Tengah di atas kain sari dari Banglades atau motif cinde di atas kain tenun dari India, dan seterusnya.

Sumber : (Susi Ivvaty) Kompas Cetak

Batik Tak Harus dengan Kebaya

Selama ini, batik masih menjadi andalan untuk busana di acara-acara formal. Tak bisa dimungkiri, batik kerap identik dengan kesan tua mengingat pemakai batik adalah mereka yang sudah berumur. Namun, dengan kreativitas tinggi dan kecermatan memilih motif dan warna, batik bisa menjadi pilihan untuk setiap kalangan.

Menurut Tan Han Goen, desainer asal Surabaya, saat ini banyak diproduksi batik dengan motif dan warna yang jauh dari kesan tua. “Tinggal cara memilih dan mendesain kain tersebut,” kata desainer yang beberapa kali mendapatkan sertifikat dari Museum Rekor Indonesia (Muri) atas karya-karyanya tersebut.

Bahkan, menurut dia, kain batik tak harus selalu dipadupadankan dengan kebaya.”Hanya menggunakan kain serta selendangnya saja sudah bisa dijadikan busana,” jelasnya. Caranya pun cukup mudah. Cukup dengan bantuan jarum pentul dan jahitan yang sifatnya tidak permanen, kain-kain batik itu bisa disulap menjadi busana yang modis.

Itu seperti ditampilkan dalam beberapa rancangannya kali ini. Dia menyulap kain koleksi aura batik menjadi busana yang simpel namun modis. Ada yang dibuat mirip kimono, kemben, dan atasan halter neck. Sementara itu, bawahannya cukup diikat dengan teknik ikatan osing.

Desainnya Jangan Terlalu Rumit

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika membuat desain untuk batik. Sebab, batik sudah penuh dengan motif. “Jadi, ada baiknya jika desain yang dibuat tak terlalu rumit,” ujar Tan Han Goen. Desain yang rumit akan membuat pemakainya terlihat lebih ’berat’.

Untuk pria, kemeja sederhana yang chic masih menjadi pilihan. Desain kemeja untuk pria, tidak perlu terlalu njlimet. “Yang penting adalah pemilihan motif,” jelasnya. Penekanan motif di bagian dada bisa membuat kesan bidang. Selain itu, tak ada salahnya jika memilih warna-warna lembut.

Untuk jenis bahan batik, ada beberapa pilihan. Bisa menggunakan batik dari sutra, katun, atau serat nanas. Jenis bahan itu bergantung pada desain dan selera penggunanya. Batik dari bahan katun bisa digunakan untuk busana sehari-hari. Namun, untuk busana pesta atau acara yang lebih formal, bisa dipilih bahan dari sutra.

“Bahan sutra relatif ringan. Jadi, wanita yang berbadan besar sebaiknya tak memilih desain yang melekat tubuh,” tegasnya. Hal tersebut justru membuat kesan elegan batiknya pudar. Batik dari bahan serat nanas sebaiknya digunakan untuk desain-desain yang membutuhkan ketegasan garis.
Sumber : (tia) Jawa Pos

BENARKAH batik sudah mati? Alhamdulillah, batik belum mati. Batik masih hidup dan dihidupkan oleh masyarakat dunia. Seluruh dunia mengenal batik sebagai salah satu karya cipta suatu bangsa, dan mengenakannya pada berbagai kesempatan. Batik juga dipakai tidak saja oleh presiden. Tetapi, bahwa batik sudah memasyarakat, seorang petani pun mengenakan batik ketika menjual padinya ke kota. Batik dipakai semua orang dari segala lapisan.

Konferensi Internasional Dunia Batik yang digelar di Yogyakarta dan menyusul di kota-kota lain, setidaknya menegaskan secara formal bahwa batik memang masih hidup. Dan, batik masih dibicarakan karena memiliki daya tariknya yang kuat. Sudah cukup lama orang memakai batik, sudah cukup lama pula batik dibuat orang, sampai hari ini pun kita masih bisa menemukan orang-orang yang membuat batik.

Kita patut pula bangga apabila batik juga dipelajari di berbagai negara, tak cuma di Indonesia. Pernahkah kita membayangkan bahwa di Argentina ada studi mengenai batik? Pernah pulakah kita bayangkan, orang Afrika memakai batik dalam jamuan resmi? Jika kenyataan ini terjadi, barangkali karena batik memiliki nilai. Batik mempunyai sukma yang mampu menghidupkan, tak sekadar barang mati atau barang pajangan.

Batik, di mana-mana batik, tentu menyenangkan. Jika orang datang ke Yogyakarta untuk kepentingan batik, apa artinya? Bila orang datang ke Solo, Banyumas, Pekalongan — daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah yang juga dikenal karena batiknya — karena tertarik pada batiknya, apa artinya? Itu artinya, kita sudah bicara batik dalam konteks pariwisata. Batik, bisa mendatangkan devisa. Dengan promosi dan publikasi yang menjangkau dunia, orang akan memburu batik sampai ke pelosok. Bahkan Fred van Oss dari Belanda membayangkan suatu perjalanan batik di Indonesia, tentu menarik bagi pariwisata minat khusus. Mereka bisa diajak tur ke kota-kota di Indonesia yang menghasilkan batik. Dari Tuban, misalnya ke Pekalongan, Banyumas, Lasem, Solo, Yogyakarta, dan tempat-tempat lain yang punya kaitan erat dengan batik. Adalah perjalanan yang menarik dan tekun.

***

INDONESIA, memang penuh sensasi. Banyak perajin batik tradisional yang bertahun-tahun hidup, betapa pun harga batik yang dijual kepada tengkulak tak mahal. Ibu-ibu tua itu dengan tekun menggoreskan cantingnya ke selembar kain. Ibu-ibu tua itulah yang menyulap kain putih menjadi bermotif-motif, walaupun mereka tak memperoleh banyak uang dari hasil kerjanya yang berhari-hari itu, toh mereka puas bisa menyalurkan ekspresinya.

Mereka, para pembatik itu bahkan harus menghadapi tantangan dari berbagai penjuru, hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Sebab, teknologi modern tak pernah dibayangkannya ketika canting-canting itu tetap saja dipegang di tangan kanannya. Tapi, itulah sesungguhnya kehidupan yang sesungguhnya. Dari situlah kita mengenal parang rusak, truntum, ceplok, kawung. Dan, mudah-mudahan generasi muda kita pun masih mengenal berbagai corak dan sebutan batik berikut kapan batik jenis tertentu itu dikenakan.

Tetapi, tahukah para pembatik itu betapa teknologi telah mampu meniru goresan-goresan tangan melalui canting? Sehingga, selain ada batik yang dibuat tekun yang dikenal sebagai batik tulis, ada pula batik cap yang hampir-hampir tak bisa dibedakan. Ya, batik memang sangat menjanjikan. Sampai kapan pun banyak orang bicara batik dari sisi suka dan tidak suka.

Batik pun pada akhirnya tidak hanya sekadar kain yang dibalutkan pada tubuh kita. Lukisan batik pun menjadi bagian dari perjalanan batik yang tak bisa dibendung. Ia menggantung di tembok-tembok. Dipajang di berbagai gedung dan tempat bergengsi. Batik, batik, dan batik seakan menjadi nafas kehidupan. Tak bosan-bosannya pula kita memandang batik, membicarakan batik, mengenakan batik, karena batik ternyata hidup dan berkembang. Bahkan kita pun sampai hati memanipulasi batik.

***

KALAU ada yang bisa dibanggakan pada batik, karena di berbagai daerah ada corak-corak khas. Bila kita datang ke Cirebon untuk melihat batik corak khas Cirebon, umpamanya. Cirebon pun memelihara batik sebagai salah satu kerajinan rakyat. Dalam ragam hias dan warnanya melambangkan arti-arti khusus yang mencerminkan kebijakan hidup. Misalnya batik mega mendung, wadasan, taman arum, paksi naga liman. Desa Trusmi yang terletak sekitar 7 kilometer arah barat dari kota Cirebon, merupakan sentra kerajinan batik yang cukup spesifik.

Atau, kita singgah ke Pekalongan, ke Desa Lawiyan Solo, Desa Wijen Bantul, dalam perjalanan batik yang bisa kita lakukan — disebut Fred van Oss sebagai batik road. Niscaya bisa menumbuhkan wawasan bagi wisatawan. Dan Pulau Jawa memiliki potensi itu, karena banyak daerah di Jawa yang sampai hari ini masih menghasilkan batik. Perjalanan batik ini bisa dirancang, untuk atraksi yang menarik perhatian, tak sekadar mengagumi.

Dari satu desa ke desa lain, batik yang diciptakan itu mencerminkan corak yang khas dan berbeda. Satu desa dengan desa yang lain bisa saling melengkapi. Apabila kita bisa mewujudkan kembali gagasan ini dengan lebih konseptual, mengangkat batik lebih ke permukaan dunia, batik bisa benar-benar menjadi penghasil devisa luar biasa. Batik di Indonesia, barangkali memiliki nilai lebih karena ada filosofinya, simbolnya, dan kaitannya dengan status.

Sumber : (Drs. Arwan Tuti Artha ) KR

Di tengah-tengah beragamnya batik dunia, batik Indonesia memang belum kehilangan ciri khasnya. Batik Jawa Tengah yang dinilai memiliki motif paling kaya pun masih mempunyai roh. Namun, saat negara tetangga gencar mempromosikan batiknya ke berbagai benua, batik Indonesia seakan jalan di tempat.

Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja mengakui, kualitas batik Indonesia saat ini makin berkurang. Ibarat wine, esensinya makin berkurang dan terus berkurang hingga akhirnya menjadi air.

Batik yang dipakai untuk busana sehari-hari saat ini sebagian besar memang print bermotif batik. Iwan Tirta sebenarnya termasuk orang yang ”mengharamkan” batik print karena akan mengurangi filosofi batik itu sendiri, seperti pembuatan motif dengan teknik perintang warna memakai malam atau pemakaian canting.

”Batik saat ini banyak, namun makin murah dan makin murah saja. Sebenarnya batik printing juga baik asalkan dibikin yang halus, jangan asal-asalan,” papar Iwan.

Josephine Komara atau Obin mempunyai pandangan berbeda. Meskipun diakui motif batik print makin populer dan dapat membahayakan eksistensi batik tradisional, Obin mencermati bahwa batik tulis, batik cap, maupun batik print telah mempunyai pasar sendiri.

”Batik Indonesia itu unik dan sangat spesial. Jadi, saya rasa tidak perlu mengontradiksikan batik tulis, cap, atau print,” kata Obin.

Memang ada perkembangan menggembirakan dalam hal konsumsi batik saat ini. Jika dulu batik hanya dikenakan untuk acara tertentu, saat ini wilayahnya makin meluas. Batik juga kerap dimodifikasi dengan motif lain untuk busana sehari-hari.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, di Jakarta sendiri banyak orang menggunakan batik bukan hanya untuk busana, namun juga dekorasi rumah. Batik juga digunakan untuk upacara pemakaman, ulang tahun, bahkan seragam kantor.

”Semenjak Gubernur Ali Sadikin, batik khususnya batik Betawi menjadi seragam wajib untuk pegawai. Anak-anak sekolah diharuskan memakai batik sehari dalam seminggu,” ujar Fauzi.

Memosisikan batik
Batik saat ini sebenarnya makin mendunia. Setidaknya itu tergambar dalam simposium tekstil tradisional ASEAN yang diselenggarakan Himpunan Wastraprema, Senin-Selasa (5-6 Desember).

Pembicara dari Malaysia, Sulaiman Abdul Ghani, yang adalah Ketua Batik International Research and Design Access University of Technologi MARA Malaysia memaparkan, tahun 2003 adalah era kembalinya batik Malaysia. Tahun ini, Malaysia bahkan mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Padahal, seperti diakui Sulaiman, batik Malaysia yang awalnya berasal dari daerah Trenggano dan Kelantan sebenarnya sangat dipengaruhi batik Indonesia, khususnya dari Cirebon dan Pekalongan. Batik bahkan baru dikenal di Malaysia pada tahun 1920-an dan baru dijadikan industri tahun 1950-an. ”Tahun 1960-an ke atas baru ada identitas Malaysia,” ujar Sulaiman.

Lebih ironis lagi, Malaysia sebenarnya baru mengenal canting sejak tahun 1970-an dan tahun 1985 langsung terpuruk karena tidak ada inovasi dalam desain dan pewarnaan. ”Saat ini, Malaysia sudah bangkit. Kami memadukan motif tradisional dan kontemporer,” jelas Sulaiman.

Batik sekarang populer kembali di mana-mana. Ada batik Thailand, Malaysia, Vietnam, China, India, bahkan Afrika Selatan. Namun, apa sebenarnya batik, orang terkadang masih memperdebatkannya. Apakah pola ragam hias dan penggunaan canting itu penting, juga menjadi perdebatan.

Menurut Iwan, para pembuat batik sebaiknya harus kembali ke dasar. Ragam hias kuno semisal titik, ukel, dan garis itu juga harus dipertahankan. Orang yang mengerti batik sudah seharusnya bisa menceritakan bahwa di balik batik itu ada dongeng dan filosofi.

Ironisnya, orang yang paham batik jarang mempunyai kesempatan menularkan pengetahuan tentang batik. Jika ada pameran batik di luar negeri, yang datang sebagian besar adalah pedagang batik yang berbicara lebih pada harga dan nilai komersialnya.

Batik bagi Iwan adalah ikon Indonesia, seperti halnya jamu atau kerajinan kayu. Oleh karena itu, batik harus selalu dijunjung tinggi, dihormati, dan diletakkan pada aras internasional sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Batik tidak hanya sebagai art to wear, namun juga untuk dekorasi gamelan dan wayang.

”Kelemahan orang tak akan terlihat ketika dia memakai batik, terutama batik tradisional. Yang terlihat justru kekuatan. Itulah mengapa saya bisa hidup dan mengalami masa enam presiden di Indonesia. Di mana pun, kita akan menjadi lebih kaya dengan batik,” jelas Iwan.

Bagi Iwan, tidak perlu lagi mempertentangkan asal muasal batik. Khusus untuk ASEAN, bahkan Asia, sebaiknya digalang kerja sama untuk terus mempromosikan batik. Misalnya dengan membuat motif batik Jawa Tengah di atas kain sari dari Banglades atau motif cinde di atas kain tenun dari India, dan seterusnya.

Sumber : (Susi Ivvaty) Kompas Cetak

Motif-motif tradisional kini mulai bergeser.

Sebutlah batik. Tanpa menunggu lama, benak kita akan dipenuhi bayangan motif bersalur-salur, berwarna tua, tampilan orang yang sedang membatik, dan busana-busana elegan untuk acara formal.

Inilah hasil kesenian, yang kendati disebut-sebut berasal dari kawasan India, justru melekat erat pada budaya Jawa. Hingga sejumlah kawasan pulau ini menghadirkan batik-batik dalam motif dan daya tarik yang berbeda.

Seiring dengan perkembangan waktu, batik pun bergeliat. Kain-kain ini tampil dengan kekiniannya. `’Batik itu berkembang mengikuti zaman. Dari corak, mutu, hingga warnanya, semua berkembang mengikuti zaman,” tutur Yultin Ginandjar Kartasasmita, Ketua Yayasan Batik Indonesia (YBI). setelah membuka Gelar Batik Nusantara (GBN) di Jakarta, belum lama ini. Perkembangan itulah yang kini muncul. Kendati masih ada yang mempertahankan nuansa tradisional, tak sedikit pula yang memilih bergerak meninggalkan itu.

H Komarudin Kudiya, MDs, pemilik batik Komarudin, mengaku tidak lagi menggunakan motif-motif tradisional. `’Walaupun saya berasal dari Cirebon, tapi saya hampir sudah meninggalkan ragam hias ornamen Cirebon. Saya ubah dalam bentuk tema-tema yang berbeda,” tuturnya.

Perubahan itu terjadi seperti pada motif kerang-kerangan dan tema keris yang tampil lewat lembar-lembar batiknya. `’Ini kan sesuatu yang beda. Sudah tidak tampak kalau sudah begini, ini motif dari mana,” lanjut Komarudin.

Batik Cirebon, kata dia, aslinya bercorak mega mendung atau wadasan yang berupa ragam hias pohon hayat dan bentuk batu karang dengan gaya khas. Budaya Cirebon tak pelak menghadirkan beragam motif tradisional. Selain wadasan dan mega mendung, ada pula kereta kencana dan singa. ”Motif singa juga bermacam-macam seperti singa payung yang kemudian dikombinasikan menjadi singa payung negaseba,” kata Komarudin.

Ternyata, motif itu pun kini mulai bergeser. Semula, warna batik tradisional terpusat pada tiga warna, yaitu krem, hitam, dan cokelat. ”Itu orisinal sekali,” katanya.

Kini, perlahan perubahan itu mulai terasa. `’Kalau sudah masuk ke mega mendung yang banyak warna, itu sudah ke arah modern,” lanjut Komarudin. Pekalongan, yang terkenal sebagai kota batik, justru tampil lebih atraktif lagi. Ada kecenderungan batik pekalongan tak hanya bergeser dalam motif, tapi pada warna. Saat produksi, warna pertama pada batik-batik itu ditimpa, dicabut warna, ditimpa lagi ke motif, kemudian ke warna lagi. `’Jadi, sistem cabut warna. Warna yang lama diangkat kemudian ditutup lilin, diwarnai lagi,” papar Komarudin.

Namun, di antara yang berubah itu, masih ada yang setia pada nilai-nilai tradisional. Batik yogya misalnya. Batik-batik dari daerah ini tampak masih konsisten pada motif-motif tradisional. Banyak yang mengakui, itu memang menjadi kekuatan batik yogya. Misalnya, motif-motif sogan, paduan warna hitam, kuning, dan putih.

Komarudin melihat batik madura masih bertahan dengan motif-motif tradisionalnya. Kalau pun ada yang berubah, lebih pada bahan baku. `’Sekarang sudah mau mencoba dengan bahan baku lain. Apalagi Madura diangkat oleh desainer dari Italia, itu cepat sekali perkembangannya. Tapi, dia belum berani mengubah motif. Yang berbeda bahan, pola-polanya tetap,” tutur Komarudin.

Batik solo terkesan malu-malu berubah. Meski motifnya tetap, ada tata letaknya yang berubah. Untuk motif, batik solo cenderung mempertahankan tradisi. Misalnya pada motif lereng. Lereng yang dipakai keluarga keraton adalah lereng yang besarnya lebih dari 10 cm. Lereng barong, yang lebih besar, itu harus dari golongan Sultan. Tapi, di bawahnya, kerabat Sultan, lebih kecil lagi.

Tidak hanya bermain pada motif dan bahan, teknik membatik pun kini berubah. Di luar negeri, kata Komarudin, perkembangannya lebih pesat lagi. ”Sudah ada yang membatik dengan teknologi laser. Ini yang terbaru,” ujar Komarudin. Namun, eksotisme batik tentu saja tidak akan pudar oleh teknologi dan cetakan motif buatan. Eksotisme itu tetap terasa kuat lewat canting, malam, lembaran kain, dan sentuhan tangan para pembatik.

Sumber : (bur) RoL

BATIK dengan motif natural atau alam saat ini, ternyata masih menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat usia 40 tahun ke atas. Bahkan kecenderungan warna alam juga masih menjadi pilihan kaum bapak dan ibu sebagai pakaian resmi dan non resmi.

“Motif-motif keanekaragaman alam tersebut memang bisa memberikan kesan eksklusif pada si pemakai. Sedangkan warna alam seperti cokelat muda, cokelat tua, putih, kuning, merah maroon, hitam, hijau pastel, hijau toska, pink, dan kuning keemasan serta warna alam disukai karena memberi kesan segar nan eksotik,” kata Elistiana Designer Batik Margaria usai gelar fashion show bertajuk ‘Pesona Alam Nusantara Klasik-Modern dengan Beragam Motif’ beberapa waktu di Balairung UGM Yogyakarta. Dalam kesempatan tersebut Elistiana menampilkan sebanyak 18 koleksi, 8 batik kombinasi kebaya untuk wanita usia 23 sampai 40-an dan 10 kemeja untuk laki-laki usia 40-an.

Motif batik alam seperti bentuk daun, bunga, burung dan buket, lalaran, mix truntum, naga dengan tumpal panjang, mega mendungan, tiga motif susun truntum, kawungan sidoasih, kotak buketan, taman buangan dan kupu-kupu, parang modang gemukiran, sekar jagad, naga dan lain-lain sengaja ditonjolkan Elistiana untuk mengarahkan desain batik tersebut pada klasik-modern. “Agar batik yang dikenakan bapak-bapak atau ibu-ibu tidak terkesan sangat klasik atau pakem,” tuturnya. Dengan sentuhan ragam motif tersebut diharapkan pembawaan batik lebih hidup dan segar, bahkan menggambarkan kepedulian kita pada alam, atau mengkomunikasikan bagaimana keindahan alam bisa memberikan kesegaran dalam berpenampilan.

Namun demikian, lanjutnya selama penggunaan batik motif tidak dipadu padan dengan aplikasi bordir bunga dan sebagian payet akan memberikan kesan kaku. Oleh karena itu untuk bisa menampilkan keluwesan pada si pemakai, Elistian memberi aplikasi bordir dan payet pada kebaya setelan batik. Begitu juga dengan selendangnya.

Sedangkan potongan desain lebih simetris dan asimetris sebab disesuaikan dengan karakter usia si pemakai. Untuk kebayanya sendiri memang dibuat sesimple mungkin untuk memebrikan kesan, sederhana tetapi terlihat ekslusif. “Membentuk simple menjadi terlihat wah, itu gampang-gampang susah, sebab kebaya modern biasanya penuh aplikasi dan bordir. Tetapi untuk ini hanya sebagian saja, tidak terlalu full aplication, karena memang fungsinya hanya untuk mempermanis dan pelengkap agar potongannya tidak kaku, sebab saya lebih menonjolkan pada batik motif tersebut,” kata Elistiana.

Balance pada setiap aplikasi dan padu-padan akan membuat busana baik itu pria maupun wanita terlihat lebih rapi sesuai dengan fungsinya, akan dipakai ke mana busana tersebut. Tetapi keindahan atau eksotika yang dilahirkan melalui motif jangan sampai kalah dengan aplikasinya karena unsur batik akan ‘tenggelam’.

Elistiana juga mengatakan pada konsep Klasik-Modern ini, sebenarnya ia ingin bercerita bahwa batik tanpa keluar dari pakemnya bisa didesain dengan gaya apapun, baik itu kreasi dengan aplikasi maupun kreasi pada payet, kancing, potongan bahan. Bahkan busana kan tampak lebih elegan, mewah, ekskulisif bila kita bisa memilih motif sebagai carakaternya desain. “Sebab motif bisa bercerita apa saja mengenai gaya si pemakai, begitu juga dengan permainan warna, jika memang berani desainer bisa menggunakan warna kontras pada kebaya yang kemudian dipasangkan dengan batik itu,” kata Elsitiana.

Untuk bahan sendiri Elistiana banyak menggunakan sutera ATBM Jepara, serat nanas, katun tulis, thay silk Jogjaan, serta nanas salur, serat pisang. Bahan-bahan tersebut mudah didapat dan tidak sulit dalam pengerjaannya. Sedangkan kualitas seratnya cukup bagus untuk gaya apapun atau lebih fleksible.

SELEMBAR kain batik mampu bicara banyak. Ia mewakili sebuah perjalanan masa, membicarakan perpaduan berbagai budaya, juga perjalanan dari sebuah kekuasaan.

Selembar kain batik juga bisa memunculkan busana trendi. Sayangnya, citra yang tertanam hingga saat ini masih berkonotasi negatif. Batik dianggap sebagai kain kuno yang hanya pantas digunakan orang-orang tua. Bahkan ada yang mengonotasikan batik dengan daster atau dalam pandangan lebih baik, kemeja lelaki berumur.

Menghapus citra yang sudah telanjur tertanam ternyata tidak mudah. Meski berbagai pameran dan peragaan busana selalu bertujuan mengenalkan batik pada kalangan muda, kenyataannya yang datang berkunjung atau menonton selalu generasi senior dan ekspatriat. Anak muda yang hadir bisa dihitung dengan jari.

Kenyataan seperti itu kembali terlihat dalam Pameran Kain Batik Koleksi Kartini Muljadi yang diselenggarakan Galeri Hadiprana, Senin pekan lalu. Hadir dalam acara yang akan berlangsung sebulan itu antara lain pengamat dan pecinta batik Asmoro Damais, Baron, Edi Sedyawati, wartawan senior Rosihan Anwar, Mien Uno, Dian M Soedardjo, serta tamu-tamu asing yang meminati koleksi kain langka Indonesia.

Generasi mudanya bisa dihitung dengan jari. Di antaranya dari kalangan desainer muda Didi Budihardjo dan Sebastian Gunawan. Ada juga beberapa perempuan muda dengan usia antara 20-30 tahunan. Mereka datang dan mencoba menjadikan batik sebagai sesuatu yang trendi.

Salah satu di antaranya mengenakan kaus putih pendek dengan celana panjang pipa jins biru warna pudar yang tengah tren. Ia menyampirkan kain batik warna cokelat kuno di bahunya. Wanita lainnya mengenakan sackdress ungu tua. Ia memitakan kain batik di atas tas Louis Vuitton. Begitu cantik dan padu. Dua perempuan ini membuktikan bahwa batik pun pantas digunakan anak muda dengan gaya trendi terkini. Sayang, jumlah yang mau peduli masih sangat sedikit.

Bandingkan dengan pagelaran busana merek terkemuka seperti Mango. Antusias generasi muda sungguh luar biasa. Mereka datang dan berani membeli mahal agar tidak dianggap ketinggalan zaman.

Seorang bintang sinetron dan iklan memberi jawaban jujur. ”Sebenarnya promosi tentang batik sudah cukup. Masalahnya, kadang kalau kita pakai kain batik suka dikatain kuno sama teman-teman. kesannya gak gaul gitu. Jadi gue enggak begitu minat dengan kain batik. Selain itu, gue pikir, kain batik memiliki citra elegan. Sepertinya kurang cocok dibuat dengan gaya yang lebih funky,” tutur Dee Dee yang kini tengah sibuk syuting sinetron dan masih menjadi bintang iklan produk Marina.

Kurang kemasan

Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pengamat mode, pengajar dan pecinta kain Sonny Muchlison saat mengomentari rendahnya minat generasi muda terhadap kain tradisional. Dalam pandangannya, banyak hal memengaruhi sikap tersebut. Di antaranya kurang pengenalan sejak dini dan buruknya kemasan pameran serta peragaan busana yang diilhami kain tradisional.

Dari waktu ke waktu jelasnya, pengenalan budaya di sekolah kian rendah. Penekanannya lebih pada menghafal. Kurikulum sekolah tidak memberi porsi cukup untuk seni dan budaya. ”Jadi, wajar saja bila anak sekarang merasa asing dengan kain tradisional Indonesia,” tuturnya.

Soal promosi kain batik, Sonny melihat sudah cukup gencar. Sayangnya, baru berdengung di kalangan tertentu alias belum menyentuh generasi muda.

Persoalan lain menyangkut kurang menariknya kemasan yang disodorkan dalam pameran maupun peragaan busana. Sering kali beberapa pameran di-display sembarangan sehingga tidak menarik minat anak muda. Publikasi yang ditempuh juga kurang mengena.

Kondisi itu menurut Sonny semakin diperparah dengan kecenderungan media cetak dan televisi yang hanya mengejar sensasional dan rating. Akibatnya, kisi-kisi pendidikan termasuk kesenian tradisional kurang diperkenalkan kepada masyarakat. Kalaupun ada yang mengupas, biasanya sekadar formalitas atau justru ditampilkan secara berat dan kuno sehingga tidak menarik minat kaum muda.

Sebagai seorang pengajar di Institut Kesenian Jakarta, dia juga prihatin saat mengajar tekstil tradisional. Sebagian besar muridnya kurang begitu tertarik apalagi mengenal. ”Yang sekarang getol mempelajari kesenian tradisional dan memburu kain-kain kuno justru orang asing. Siapa sesungguhnya pemilik kebudayaan tradisional Indonesia ini?” katanya prihatin.

Keprihatinannya kian bertambah karena saat ini batik justru banyak diaplikasi merek-merek luar negeri. Misalnya saja Project Shop Blood. Untuk kawasan Asia, merek ini berani mengaplikasikan batik dengan nuansa urban dan funky. Pada 1997, Versace pernah menggunakan batik jamprang untuk koleksi-koleksinya. Antonio Berardiu dan Pierre Cardin juga menjabarkan batik dalam gaya kardigan serta celana sleek yang unik. Terakhir Malaysia malah berani mengklaim batik sebagai budaya khas mereka.

Di Indonesia, lanjut Sonny, sebenarnya sudah ada beberapa desainer yang khusus mengolah batik. Sayang kemasannya masih terlalu berat sehingga kurang menyentuh hati generasi muda. ”Meski demikian, upaya beberapa desainer itu perlu diapresiasi. Hasil karya mereka itu kini lebih diminati orang-orang asing. Obin misalnya, 99% pelanggannya berasal dari Eropa, Jepang, dan Amerika.”

Begitulah gambaran kondisi batik di Indonesia. Perlu strategi dan kerja lebih keras lagi untuk memperkenalkan pada generasi muda. Jangan sampai kain khas ini hilang ditelan zaman atau justru dipatenkan bangsa lain.

Sumber : (Tkh/M-2) Media Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap di